Tragedi Berdarah Simpang KKA 1999: Brutalnya Aparat Tembaki Ribuan Warga Aceh yang Tagih Janji
Tribunnews Tribunnews
13.3M subscribers
318,778 views
1.7K

 Published On Jan 20, 2023

TRIBUN-VIDEO.COM - Senin 3 Mei 1999 menjadi salah satu hari paling kelam bagi warga Aceh Utara, Nangroe Aceh Darusalam.

Lhokseumawe banjir darah. Sebuah konflik antara aparat dengan warga sipil pecah di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.

Kala itu hujan tembakkan peluru dilesatkan pasukan TNI kepada ratusan warga yang sedang berunjuk rasa di Simpang KKA sekitar Markas Korem 011.

Unjuk rasa warga kala itu untuk menagih janji di tengah konflik Aceh yang dilanggar oleh pihak TNI.

Namun bukanya mendapatkan penyelesaian, warga yang berusaha menemui petinggi TNI setempat malah mendapatkan perlawanan membabi buta.

Peristiwa berdarah tersebut setidaknya merenggut 46 nyawa, 155 orang luka tembak, dan 10 orang dinyatakan hilang.

Dikutip dari Kompas.com, Tragedi Simpang KKA berawal dari hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudah 001/Pulo Rungkom pada tanggal 30 April 1999.

Anggota ini diduga menyusup ke acara peringatan 1 Muharam yang sedang diadakan oleh warga Desa Cot Murong.

Pada acara itu disebut sebut ada seorang anggota tentara Sersan Aditia dari Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001.

Prajurit TNI itu kabarnya menyusup ke tengah kerumunan warga dan kemudian ditangkap massa.

Menurut versi warga, Sersan Aditia mengenakan seragam tentara membawa pistol dan ada radio handi talky di tangannya.

Setelah ditangkap dan diinterogasi, menurut versi itu, Aditia dilepaskan kembali.

Tapi, dari markas Arhanud sendiri menyatakan Sersan Aditia belum kembali ke satuannya.

Kehilangan anggota itu menyebabkan sejumlah anggota Arhanud melakukan operasi pencarian besar-besaran yang melibatkan berbagai satuan, termasuk Brimob.

Ketika aparat sedang melakukan penyisiran di Desa Cot Murong, mereka menangkap sekitar 20 orang dan melakukan berbagai aksi kekerasan.

Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam oleh aparat.

Menanggapi laporan tersebut, warga desa pun mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk melakukan negosiasi.

Setelah proses negosiasi selesai, komandan TNI berjanji bahwa aksi kekerasan ini tidak akan terulang lagi.

Namun, pada kenyataannya, janji tersebut dikhianati dan tidak mereka tepati.

Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara tiba-tiba kembali memasuki Desa Cot Murong dan Lancang Barat, tetapi diusir oleh warga setempat.

Kedatangan tentara ke Desa Cot Murong lantas membuat warga setempat merasa marah, karena janji mereka tidak ditepati.

Alhasil, warga Desa Cot Murong melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut janji yang diberikan komandan TNI.

Yang tampak pada saat itu, yang berada di depan kerumunan massa adalah para wanita dan anak-anak.

Sedangkan kaum lelaki lebih banyak berada di belakang.

Tidak diketahui apakah susunan gerombol massa demikian terjadi secara kebetulan atau sengaja disusun oleh warga agar tentara berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan.

Kemudian pada siang hari, para pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh, yang tempatnya berdekatan dengan markas Korem 011.

Warga kemudian mengirimkan lima perwakilannya untuk berdiskusi bersama dengan komandan.

Sewaktu diskusi sedang berlangsung, tiba-tiba jumlah tentara yang mengepung warga semakin banyak.

Warga pun mulai melempari batu ke markas Korem 011 dan membakar dua sepeda motor di sana.

Setelah itu, dua truk tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) yang dijaga oleh Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang.

Mereka mulai menembaki kerumunan para pengunjuk rasa.

Dari peristiwa ini sedikitnya 46 warga sipil meninggal, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang.

Tujuh dari korban tewas diidentifikasi masih anak-anak.

Presiden Joko Widodo mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat pada peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara.

Pengakuan presiden ini, setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/1/2023).

Tak hanya Tragedi Simpang KKA, terdapat 11 peristiwa pelanggaran HAM lainya yang diakui pemerintas selama periode 1965-2003.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Presiden.

#beritaterbaru #beritaterkini #beritaviral #live #breakingnews #ham #komnasham #tragedi #aceh #jokowidodo #jokowi #presidenjokowi #presidenjokowidodo #simpangkka

show more

Share/Embed