Anwar Jimpe bertumbuh di rumah panggung khas perkampungan Bugis. Di kolong rumah itu ibu menyuapinya, menidurkannya dengan ayunan dari kain sarung.

Di antara tiang-tiang kolong rumah pula ia bermain bola bersama kawan-kawannya, sementara itu kaum perempuan mencari kutu bersama. Di rumah panggung seberang tampak kaum lelaki menggergaji kayu, ada juga yang sekadar rebahan mendengar sandiwara radio.

"Di halaman rumah itu saya dibesarkan," ujarnya. "Hampir bisa dibilang, siklus hidup masyarakat Bugis itu dari pagi sampai sore ada di halaman rumah. Mereka hanya menjadikan tempat di atas itu sebagai tempat istirahat atau untuk ruang formal."

Namun perkembangan Kota Makassar telah menghilangkan halaman rumah. Halaman rumah berubah menjadi ruang-ruang komersial.

"Kota yang kita saksikan sehari-hari itu ekspresi dari beres atau tidak beresnya kita di halaman rumah," kata Kak Jimpe.

Menurutnya, mereka yang terusir dari halaman rumah akan mengekspresikan diri mereka di jalanan. Misal, anak-anak muda memasang knalpot yang memekakkan itu sejatinya anak-anak muda yang terlempar dari halaman rumah.

Jimpe bersama kawan-kawan ilmuwan warga Kampung Buku menghimpun wawancara, data tinggalan budaya, dan peta-peta tentang dinamika situasi ekologi sebuah kampung dari 1950-an sampai 2000-an. Wajah kampung yang tadinya memiliki rawa dan persinggahan bangau itu kini berubah menjadi permukiman padat. Kampung Paropo, namanya.

Musnahnya halaman rumah juga berimplikasi pada ekologi kawasan. Air hujan terlimpas atau tergenang karena rendahnya daya serap tanah. Ruang-ruang terbuka hijau diubah menjadi perkantoran. Bahkan, kini pemerintah mengandalkan tempat permakaman umum sebagai bagian ruang terbuka hijau.

Narator : Mahandis Yoanata Thamrin @mahandisyoanata
Videoeditor : Zulfikar Muin ‪@zulfikarmuin‬
---
Jangan lupa like, comment, dan subscribe di channel ini!
Klik    / @natgeo-indonesia  
===========================================
Website: https://nationalgeographic.grid.id/

.